Pendidikan
Masih Jadi Masalah Utama di Papua
Ilustrasi Pendidikan di Papua. ( Foto:
Antara/Indrianto Eko Suwarso
Irawati D Astuti / DAS Selasa, 18 Oktober 2016 | 13:57 WIB
Jayapura - Selama lebih dari satu dekade, Indonesia telah
mencoba memperbaiki sistem pendidikannya dengan mengalokasikan 20% dari APBN
untuk bidang pendidikan. Terdapat 62 juta siswa dan 3,5 juta guru dan dosen.
Sayangnya, angka fantastis itu gagal menjamin distribusi dan kualitas yang
merata di seluruh nusantara.
Sistem pendidikan di
Indonesia bagian Barat secara umum lebih baik dari Indonesia bagian Timur,
seperti Papua. Di Indonesia Timur, masih banyak anak-anak yang tidak memiliki
akses ke sekolah yang baik.
Menurut Badan Pusat
Statistik (BPS), pada tahun ajaran 2013/2014, terdapat 117.529 siswa sekolah
dasar (SD) dan 39.529 siswa sekolah menengah atas (SMA) di provinsi Papua
Barat. Sementara di provinsi Papua, terdapat 336.644 siswa SD dan 94.897 siswa
SMA. Sepintas, angka itu tampak menjanjikan. Sayangnya, fakta yang ada di lapangan
jauh dari sekadar angka.
Kondisi ekonomi,
budaya dan aksesibilitas geografis menjadi batasan bagi banyak anak-anak di
wilayah timur Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dasar sekalipun. Masih
banyak masyarakat yang belum peduli dengan pentingnya pendidikan untuk
anak-anak. Atau, banyak yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga tak mampu
menyekolahkan anak-anak mereka.
Data BPS menyebutkan,
Papua Barat dan Papua memiliki nilai paling rendah di antara seluruh provinsi
di Indonesia, dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development
Index (HDI) 2010-2015. Papua Barat memiliki nilai 61,73, sedangkan Papua
memiliki nilai 57,25. Sementara nilai rata-rata HDI di Indonesia adalah 69,55.
HDI mengukur
pencapaian rata-rata warga di suatu negara dalam hal pembangunan manusia.
Variabel yang diukur di antaranya adalah kesehatan, harapan hidup, pendidikan
dan standar hidup.
Selain nilai HDI yang
rendah, angka inflasi di Papua Barat dan Papua cukup tinggi. Banyak anak-anak
yang terpaksa putus sekolah karena mereka harus bekerja demi menunjang ekonomi
keluarga.
“Rakyat Papua yang
tinggal di kota-kota besar tidak akan mempertanyakan pentingnya pendidikan dan
menyekolahkan anak-anak mereka. Hal yang berbeda terjadi di wilayah pedesaan
dan pedalaman. Di sana, mereka tak bisa sekolah karena mereka harus bekerja
membantu orangtuanya,” jelas Kepala SDN Abeale I, Sudarwati.
Pandangan konservatif
yang melihat pendidikan adalah hal yang tidak penting dan keengganan untuk
bekerja menyebabkan banyak rakyat Papua yang meninggalkan kawasan urban.
“Banyak orang Papua
yang malas bekerja. Mereka terlalu nyaman hidup dari mendayagunakan sumber daya
alam di sekitar. Orang-orang lokal kerap mabuk-mabukan dan tidak peduli pada
pendidikan. Inilah kenapa mereka sering kalah saat berkompetisi dengan orang
dari luar Papua dan memutuskan kembali ke pedalaman,” tutur Edi, mantan guru di
sebuah sekolah Katolik di Surabaya, Jawa Timur, yang tinggal di Sentani selama
11 tahun belakangan.
Data dari United
Nations Children's Fund (Unicef) menunjukkan bahwa 30% siswa Papua tidak
menyelesaikan SD dan SMP mereka. Di pedalaman, sekitar 50% siswa SD dan 73%
siswa SMP memilih untuk putus sekolah.
Kondisi geografis
merupakan salah satu faktor yang menyulitkan warga Papua untuk mendapatkan
pendidikan.
Sekolah-sekolah di
kota-kota besar di Papua mungkin tak memiliki kesulitan yang sama dengan yang
dialami sekolah-sekolah di pedalaman. Namun masih ada persoalan lain yang
menghalangi perkembangannya.
Bahkan di SD Abeale I
yang bebas biaya, banyak siswa yang tidak mendapatkan pendidikan layak.
Sudarwati mengatakan, sekolah yang dipimpinnya butuh lebih banyak guru yang
berkualitas, terutama untuk kelas komputer dan Bahasa Inggris.
“Kami telah
memperbaiki kapasitas dan kualitas guru-guru di Papua,” ujar Sudarwati, yang
telah mengajar di Papua sejak 1990.
Tak hanya kualitas
guru yang mengkhawatirkan, tapi juga kondisi infrastrukturnya. Gedung sekolah
yang dibangun di era 70-an butuh direnovasi. Selain itu, diperlukan tambahan
dua kelas lagi untuk mengakomodasi siswa-siswanya.
Meski begitu,
Sudarwati tidak menyerah. Mengajar dan belajar merupakan kontribusi paling
penting yang ia berikan kepada masyarakat.
Meski begitu,
secercah harapan kerap muncul di tengah situasi yang sulit. Di daerah
pegunungan Mamit, di Tolikara, SD Lentera Harapan masih berdiri untuk
menyediakan pendidikan berkualitas dan gratis untuk warga lokal.
Dipimpin oleh Laura
Elisabeth Panggabean, sekolah itu bertujuan untuk menyediakan kesempatan
pendidikan yang merata untuk seluruh anak-anak di kawasan pedesaan yang miskin.
Awalnya, masalah yang
dihadapi Laura dan relawan guru lainnya di Mamit bukanlah standar hidup yang
rendah atau betapa terpencilnya desa itu. Kendala utama mereka adalah bahasa.
“Saat para siswa
datang untuk pertama kali, mereka belum bisa berbicara dalam bahasa Indonesia.
Sebab, rata-rata mereka hanya berbicara dalam bahasa lokal mereka, bahasa
Lani,” tutur Laura.
Dengan bantuan dari
misionaris dan relawan dari Mission Aviation Fellowship (MAF), para siswa
tersebut mulai mendapatkan pendidikan formal dan informal. Sekolah Lentera
Harapan secara perlahan mengajari warga Mamit soal pendidikan, dan juga
kebersihan. Mulai dari penggunaan toilet hingga mencuci tangan sebelum makan.
Kolaborasi antara
pemerintah dan sektor swasta seperti ini dibutuhkan untuk membangun akses
pendidikan di kawasan pedalaman seperti Mamit. Rakyat Papua yang berhasil
mendapatkan pendidikan layak harus kembali ke kampung halamannya dan berbagi
pengetahuan mereka. Salah satunya adalah Yustus Samber, yang menjadi relawan
guru di sekolah Lentera Harapan.
Yustus mengatakan,
sebagai orang Papua, ia memiliki akses lebih baik kepada komunitas lokal. Ia
percaya pendidikan adalah cara untuk mengubah masa depan Mamit secara khusus,
juga Papua secara umum.
“Jika bukan kita, siapa lagi? Saya hanya berharap
anak-anak ini akan membawa perubahan untuk Mamit,” tuturnya.
Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/393388-pendidikan-masih-jadi-masalah-utama-di-papua.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar