72 Tahun
Merdeka, Apa Kabar Pendidikan Indonesia? Haris Prahara Kompas.com –
18/08/2017,
06:49 WIB Ilustrasi pendidikan nasional Ilustrasi pendidikan nasional (M
LATIEF/KOMPAS.com) KOMPAS.com –
Kala itu,
Jumat, 17 Agustus 1945, hari yang dinanti-nantikan masyarakat Indonesia tiba.
Segenap masyarakat memenuhi pelataran rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur
nomor 56, Jakarta, menunggu pembacaan teks proklamasi. Matahari belum terlalu
tinggi saat Soekarno keluar dari rumahnya dan membaca teks dengan lantang
melalui pengeras suara. Didampingi Mohammad Hatta, ia membawa masyarakat
Indonesia terlarut dalam euforia kemerdekaan setelah lebih dari tiga setengah
abad dijajah asing. Tak terasa, kini sudah 72 tahun momen tersebut berlalu.
Masih lekat dalam ingatan, kemerdekaan berarti komitmen untuk gerak bersama
membangun negeri dalam setiap sendi kehidupan, termasuk pendidikan. Sayangnya,
salah satu cita-cita luhur kemerdekaan yakni mencerdaskan kehidupan bangsa,
seolah masih jauh dari ideal. Masih banyak anak bangsa yang belum dapat
mencicipi pendidikan dengan layak. Berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, pada 2016, lebih dari satu juta anak putus sekolah pada jenjang
sekolah dasar (SD) dan tak melanjutkan ke tingkat sekolah menengah pertama
(SMP). Jika digabung antara yang tidak tamat SD-SMP, maka ada sekitar 4,3 juta
anak yang tak mengenyam pendidikan dasar sembilan tahun. Akibatnya, sekitar 40
persen angkatan kerja Indonesia merupakan lulusan SD. Kondisi itu tentunya
menghambat upaya Indonesia untuk bersaing di kancah global. Padahal, konstitusi
telah menjamin hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan sebagaimana
termaktub pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28C. ”Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat
pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia,” demikian bunyi pasal tersebut. Meskipun sejumlah upaya telah
dilakukan pemerintah, tampaknya perjuangan mewujudkan amanat konstitusi di
bidang pendidikan masih cukup panjang. Upaya ekstra dibutuhkan untuk memastikan
setiap warga negara meraih hak sama di sektor tersebut. Anggaran pendidikan
memang telah dialokasikan sebesar 20 persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara (APBN). Akan tetapi, beragam persoalan yang menghampiri dunia
pendidikan seakan terus jadi pekerjaan rumah. Tantangan Berdasarkan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang dikeluarkan United Nations Development Programme (UNDP) pada
2016, Indonesia meraih angka sebesar 0.689. Nilai tersebut menempatkan
Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah, berada di peringkat 113
dari 188 negara. Salah satu sorotan UNDP adalah kesenjangan pendidikan
Indonesia yang lebih tinggi dari rata-rata di Asia Timur dan Pasifik. Kondisi
di atas tentunya menjadi tantangan bagi Indonesia dalam konteks pencapaian
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang ditetapkan Persatuan Bangsa Bangsa
(PBB) sebagai agenda pembangunan dunia hingga 2030. Utamanya, dalam meraih
tujuan keempat yaitu menjamin kualitas pendidikan yang inklusif dan merata
serta meningkatkan kesempatan belajar untuk semua. “Persoalan yang mendesak diperbaiki
dari pendidikan kita adalah akses dan juga kualitasnya,” ujar Ketua Pengurus
Tanoto Foundation, Sihol Aritonang, Kamis (27/7/2017). Karena itu, sejak
memulai kegiatan pada 1981, Tanoto Foundation—lembaga filantropi
swasta—berupaya terlibat aktif dalam menaikkan derajat pendidikan Tanah Air.
Melalui program beasiswa, contohnya. Lembaga itu telah memberikan lebih dari
6.000 beasiswa untuk mahasiswa di berbagai perguruan tinggi. Hal ini salah satu
upaya untuk meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan
tinggi, di mana pada 2015 hanya berada di tingkat 33 persen. Sementara itu,
untuk meningkatkan mutu pendidikan di wilayah pedesaan, Tanoto Foundation telah
menjangkau lebih dari 500 sekolah di pedalaman Sumatera Utara, Riau, dan Jambi melalui
program bertajuk Pelita Pendidikan. Sihol melanjutkan, berbagai upaya juga
dilakukan pihaknya melalui pelatihan guru, pengembangan perpustakaan sekolah,
peningkatan minat serta kemampuan membaca siswa, serta peningkatan kualitas
lingkungan sekolah. Akan tetapi, aksi itu saja tak cukup. “Kami tidak dapat
bergerak sendiri. Butuh kerja sama yang lebih kuat dari pemerintah dan pihak
swasta lainnya,” tutur Sihol. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dijanjikan
Presiden Joko Widodo untuk terus memperbaiki kualitas pendidikan Tanah Air.
Sebagaimana diwartakan Kompas.com, Kamis (6/10/2016), Presiden meminta agar
anggaran pendidikan dapat digunakan secara efektif dan tepat sasaran. “Saya
minta dilakukan perombakan besar-besaran untuk peningkatan kualitas pendidikan,"
tegas Presiden dalam rapat terbatas untuk membahas penggunaan APBN saat itu.
Memperbaiki kualitas pendidikan butuh solusi lebih dari banyak pihak, baik
swasta maupun masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar