Pendidikan Yang Membebaskan Menurut Paulo Freire
8 Januari 2013 14:47 Diperbarui: 24 Juni
2015 18:22 3690 1 0
Paulo Freire adalah
tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia menggugat sistem pendidikan
yang telah mapan dalam masyarakat Brasil. Bagi dia, sistem pendidikan
yang ada sama sekali tidak berpihak pada rakyat miskin tetapi sebaliknya
justru mengasingkan dan menjadi alat penindasan oleh penguasa.
Karena pendidikan yang demikian hanya menguntungkan penguasa maka
harus dihapuskan dan digantikan dengan sistem pendidikan yang
baru. Sebagai jalan keluar atas kritikan tajam itu maka Freire menawarkan
suatu sistem pendidikan alternatif yang menurutnya relevan bagi masyarakat
miskin dan tersisih. Kritikan dan pendidikan altenatif
yang ditawarkan Freire itu menarik untuk dipakai menganalisis
permasalahan pendidikan di Indonesia. Walaupun harus diakui bahwa konteks
yang melatarbelakangi lahirnya pemikiran yang kontroversial mengenai
pendidikan itu berbeda dengan konteks Indonesia. Namun di balik kesadaran
itu, ada keyakinan bahwa filsafat pendidikan yang ada di belakang
pemikiran Freire dan juga metodologi
pendidikan yang ditawarkan akan bermanfaat
dalam “membedah” permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pandangan Paulo Freire Tentang
Pendidikan. Pandangan Paulo Freire tentang pendidikan tercermin dalam
kritikannya yang tajam terhadap sistem pendidikan dan dalam pendidikan
alternatif yang ia tawarkan. Baik kritikan maupun tawaran
konstruktif Freire keduanya lahir dari suatu pergumulan dalam konteks
nyata yang ia hadapi dan sekaligus merupakan refleksi filsafat
pendidikannya yang berporos pada pemahaman tentang manusia.
a. Konteks Yang Melatarbelakangi Pemikiran
Paulo Freire.
Hidup Freire merupakan suatu rangkaian
perjuangan dalam konteksnya. Ia lahir tanggal 19 September 1921
di Recife, Timur Laut Brasilia. Masa
kanak-kanaknya dilalui dalam situasi penindasan karena orang tuanya
yang kelas menengah jatuh miskin pada tahun
1929. Setamat sekolah menengah, Freire kemudian belajar
Hukum, Filsafat, dan Psikologi. Sementara kuliah,
ia bekerja “part time” sebagai instuktur bahasa Potugis di
sekolah menengah. Ia meraih gelar doktor
pada tahun 1959 lalu diangkat menjadi profesor. Dalam kedudukannya
sebagi dosen, ia menerapkan sistem pendidikan “hadap-masalah” sebagai
kebalikan dari pendidikan “gaya bank”. Sistem pendidikan
hadap masalah yang penekanan utamanya pada penyadaran nara didik
menimbulkan kekuatiran di kalangan para penguasa. Karena itu, ia
dipenjarakan pada tahun 1964 dan kemudian diasingkan ke
Chile. Pengasingan itu, walaupun mencabut ia dari akar budayanya yang
menimbulkan ketegangan, tidak membuat idenya yang membebaskan “dipenjarakan”, tetapi
sebaliknya ide itu semakin menyebar ke seluruh dunia. Ia mengajar di
Universitas Havard, USA pada tahun 1969-1970. Ia pernah menjadi konsultan
bidang pendidikan WCC.
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir
dari pergumulannya selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah
masyarakat desa yang miskin dan tidak “berpendidikan”. Masyarakat feodal
(hirarkis) adalah struktur masyarakat yang umum berpengaruh di
Amerika Latin pada saat itu. Dalam masyarakat feodal yang hirarkis ini
terjadi perbedaan mencolok antara strata masyarakat “atas” dengan
strata masyarakat “bawah”. Golongan atas menjadi penindas masyarakat
bawah dengan melalui kekuasaan politik dan akumulasi kekayaan, karena
itu menyebabkan golongan masyarakat bawah menjadi semakin miskin yang
sekaligus semakin menguatkan ketergantungan kaum tertindas kepada para
penindas itu.
Dalam kehidupan masyarakat yang sangat kontras
itu, lahirlah suatu kebudayaan yang disebut Freire dengan
kebudayaan “bisu”. Kesadaran refleksi kritis
dalam budaya seperti ini tetap tidur dan tidak tergugah. Akibatnya
waktu lalu hanya dilihat sebagai sekat hari ini yang menghimpit. Manusia
tenggelam dalam “hari ini” yang panjang, monoton dan
membosankan sedangkan eksistensi masa lalu dan masa akan datang belum
disadari. Dalam kebudayaan bisu yang demikian itu kaum tertindas hanya
menerima begitu saja segala perlakuan dari kaum penindas. Bahkan, ada
ketakutan pada kaum tertindas akan adanya kesadaran tentang ketertindasan
mereka. Itulah dehumanisasi karena bahasa sebagai prakondisi untuk
menguasai realitas hidup telah menjadi kebisuan. Diam atau bisu dalam
konteks yang dimaksud Freire bukan karena protes atas perlakuan yang
tidak adil. Itu juga bukan strategi untuk menahan intervensi penguasa dari
luar. Tetapi, budaya bisu yang terjadi adalah karena bisu dan bukan
membisu. Mereka dalam budaya bisu memang tidak tahu apa-apa. Mereka
tidak memiliki kesadaran bahwa mereka bisu dan dibisukan. Karena itu,
menurut Freire untuk menguasai realitas hidup ini termasuk
menyadari kebisuan itu, maka bahasa harus dikuasai. Menguasai bahasa
berarti mempunyai kesadaran kritis dalam mengungkapkan realitas. Untuk
itu, pendidikan yang dapat membebaskan dan memberdayakan
adalah pendidikan yang melaluinya nara didik dapat mendengar suaranya
yang asli. Pendidikan yang relevan dalam masyarakat berbudaya bisu
adalah mengajar untuk memampukan mereka mendengarkan suaranya sendiri
dan bukan suara dari luar termasuk suara sang pendidik. Dalam konteks
yang demikian itulah Freire bergumul. Ia terpanggil untuk membebaskan
masyarakatnya yang tertindas dan yang telah “dibisukan”.
Pendidikan “gaya bank” dilihatnya sebagai salah satu sumber yang
mengokohkan penindasan dan kebisuan itu. Karena itulah, ia menawarkan
pendidikan “hadapmasalah” sebagai jalan membangkitkan
kesadaran masyarakat bisu.
b. Kritikan Paulo Freire Terhadap Pendidikan
“Gaya Bank”.
Dalam sistem pendidikan yang diterapkan di
Brasilia pada masa Freire, anak didik tidak dilihat sebagai yang
dinamis dan punya kreasi tetapi dilihat sebagai benda yang seperti wadah
untuk menampung sejumlah rumusan/dalil pengetahuan. Semakin banyak
isi yang dimasukkan oleh gurunya dalam “wadah” itu, maka semakin baiklah
gurunya. Karena itu semakin patuh wadah itu semakin baiklah ia.
Jadi, murid/nara didik hanya menghafal seluruh yang diceritrakan oleh
gurunya tanpa mengerti. Nara didik adalah obyek dan bukan subyek.
Pendidikan yang demikian itulah yang disebut oleh Freire
sebagai pendidikan “gaya bank”. Disebut pendidikan gaya bank sebab
dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada nara
didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa
untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika
diperlukan. Nara didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah
pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara didik itu sendiri yang “disimpan” sebab
miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan
kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Pendidikan “gaya bank” itu ditolak dengan tegas
oleh Paulo Freire. Penolakannya itu lahir dari pemahamannya tentang
manusia. Ia menolak pandangan yang melihat manusia sebagai
mahluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung
jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. Bagi Freire manusia adalah
mahluk yang berelasi dengan Tuhan, sesama dan alam. Dalam relasi
dengan alam, manusia tidak hanya berada di dunia tetapi juga bersama
dengan dunia. Kesadaran akan kebersamaan dengan dunia
menyebabkan manusia berhubungan secara kritis dengan dunia. Manusia
tidak hanya bereaksi secara refleks seperti binatang, tetapi memilih,
menguji, mengkaji dan mengujinya lagi sebelum melakukan tindakan.
Tuhan memberikan kemampuan bagi manusia untuk memilih secara
reflektif dan bebas. Dalam relasi seperti itu, manusia berkembang menjadi
suatu pribadi yang lahir dari dirinya sendiri. Bertolak dari pemahaman
yang demikian itu, maka ia menawarkan sistem pendidikan alternatif
sebagai pengganti pendidikan “gaya bank” yang ditolaknya. Sistem
pendidikan alternatif yang ditawarkan Freire disebut pendidikan
“hadap-masalah”.
c. Pendidikan “Hadap-Masalah”: Suatu
Pendidikan Alternatif.
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai
pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir
dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan
sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada
secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam
dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus
diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas
itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa
manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan
untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas
yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis
dalam diri nara didik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia,
yaitu :
1) Kesadaran intransitif, dimana seseorang hanya terikat pada
kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini
yang menindas.
2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat
berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini
adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau
hidup dalam ketergantungan.
3) Kesadaran Naif. Pada
tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan
mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif
dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa
lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat,
banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
4) Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan
kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi,
mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat
ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan
adalah pendidikan yang menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang
ia tidak bermaksud bahwa seseorang langsung mencapai tingkatan
kesadaran tertinggi itu, tetapi belajar adalah proses bergerak
dari kesadaran nara didik pada masa kini ke tingkatan kesadaran yang
di atasnya. Dalam proses belajar yang demikian kontradiksi
guru-murid (perbedaan guru sebagai yang menjadi sumber segala
pengetahuan dengan murid yang menjadi orang yang tidak tahu apa-apa) tidak
ada. Nara didik tidak dilihat dan ditempatkan sebagai obyek
yang harus diajar dan menerima. Demikian pula sebaliknya guru tidak
berfungsi sebagai pengajar. Guru dan murid adalah sama-sama belajar dari
masalah yang dihadapi. Guru dan nara didik bersama-sama
sebagai subyek dalam memecahkan permasalahan. Guru bertindak dan
berfungsi sebagai koordinator yang memperlancar percakapan dialogis. Ia adalah
teman dalam memecahkan permasalahan. Sementara itu, nara didik adalah
partisipan aktif dalam dialog tersebut.
Materi dalam proses pendidikan yang demikian
tidak diambil dari sejumlah rumusan baku atau dalil dalam buku paket
tetapi sejumlah permasalahan. Permasalahan itulah yang menjadi topik dalam
diskusi dialogis itu yang diangkat dari kenyataan hidup yang dialami
oleh nara didik dalam konteksnya sehari-hari, misalnya dalam pemberantasan
buta huruf. Pertamatama peserta didik dan guru secara bersama-sama menemukan
dan menyerap tema-tema kunci yang menjadi situasi batas (permasalahan)
nara didik. Tema-tema kunci tersebut kemudian didiskusikan dengan
memperhatikan berbagai kaitan dan dampaknya. Dengan proses demikian nara
didik mendalami situasinya dan mengucapkannya dalam bahasanya
sendiri. Inilah yang disebut oleh Freire menamai dunia dengan bahasa
sendiri. Kata-kata sebagai hasil penamaan sendiri itu kemudian
dieja dan ditulis. Proses demikian semakin diperbanyak sehingga nara
didik dapat merangkai kata-kata dari
hasil penamaannya sendiri.
d. Relevansi Pemikiran Freire dalam Konteks Indonesia.
Allen J.Moore mengatakan bahwa konsep Freire
yang dirumuskan dalam konteks Amerika Latin tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam konteks yang
berbeda sebab situasinya dan permasalahannya tidak sama.
Peringatan Moore ini adalah satu kendali supaya
kita tidak bertindak naif dalam menganalisis suatu permasalahan dalam
konteks yang khas. Hal itu sekaligus menjadi peringatan supaya kritikan
Freire dapat dipakai secara kritis dalam menganalisis permasalahan
pendidikan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Memang
harus diakui bahwa konteks permasalahan Amerika Latin, khususnya Brasilia
tidak sama persis dengan permasalahan dalam masyarakat
Indonesia, tetapi dalam banyak hal kita menemukan
persamaan. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas suku-suku adalah
masyarakat hierarkis yang nampak dalam strata sosial yang mempunyai
sebutan khas di berbagai daerah. Walaupun strata sosial ini
sudah tidak terlalu nampak tetapi justru telah lahir suatu strata sosial
baru yang prakteknya hampir sama dengan feodalisme
tradisional. Pemegang kendali dalam feodalisme modern adalah kelompok
pedagang/pengusaha yang menguasai ekonomi lebih dari setengah kekayaan
yang ada. Kelompok tersebut mengakumulasikan kekayaan kurang lebih 80
% kekayaan Indonesia padahal jumlah mereka tidak lebih dari 20 % dari
jumlah penduduk. Kedua kelompok “penindas” tersebut semakin
memperkokoh kekuasaannya sebab secara praktik hanya mereka yang mampu
menyekolahkan anak-anaknya sampai ke perguruan tinggi yang sangat
mahal dan terpola dalam sistem kekuasaan itu. Generasi itulah yang
kemudian menjadi pewaris “tahta penindasan”. Kalau ada dari kelompok
rakyat kecil yang mampu mengecap pendidikan tinggi, ia akan berubah
menjadi pemegang kendali feodalisme baru itu baik dalam rangka balas
dendam maupun dalam “penindasan” terhadap sesamanya kaum “tertindas”.
Salah satu kritikan Freire adalah pendidikan
yang berupaya membebaskan kaum tertindas untuk menjadi penindas baru.
Bagi Freire pembebasan kaum tertindas tidak dimaksudkan supaya ia
bangkit menjadi penindas yang baru, tetapi supaya
sekaligus membebaskan para penindas dari kepenindasannya.
Dalam proses belajar mengajar, pemerintah
Republik Indonesia telah mengupayakan untuk menerapkan pendekatan
cara belajar siswa aktif (CBSA), tetapi hanya metodenya sajalah yang CBSA.
Sementara materi yang disampaikan masih merupakan barang asing yang
tidak lahir dari dalam konteks dimana manusia itu ada sehingga pada
akhirnya siswa kembali menjadi “bank” penyimpanan
sejumlah pengetahuan. Memang siswa aktif belajar dan mungkin
berdiskusi dalam kelas tetapi yang didiskusikan dan dipelajari dalam
kelas adalah sejumlah dalil dan rumus yang tidak punya
hubungan dengan kehidupannya. Lagi pula relasi guru-siswa adalah
pengajar dan yang diajar. Siswa adalah yang belum tahu dan harus
diberitahu sedangkan guru adalah yang sudah tahu dan akan
memberitahukan. Bukankah itu semua yang disebut oleh Paulo Freire
dengan pendidikan “gaya bank”?