Kamis, 27 September 2018

Pendidikan Seumur Hidup dan Belajar Seumur Hidup


1.    Pendidikan Seumur Hidup
Hasil gambar untuk belajar seumur hidup 
“Pendidikan Seumur Hidup”/”Life-Long Education” (bukan “long life education”) adalah makna yang seharusnya benar-benar terkonsepsikan secara jelas serta komprehensif dan dibuktikan dalam pengertian, dalam sikap, perilaku dan dalam penerapan terutama bagi para pendidik di negeri kita. Pendidikan seumur hidup merupakan sebuah sistem pendidikan yang menerangkan keseluruhan peristiwa-peristiwa kegiatan belajar mengajar yang berlangsung dalam keseluruhan kehidupan manusia. Azas pendidikan seumur hidup itu merumuskan suatu azas bahwa proses pendidikan merupakan suatu proses kontinue, yang bemula sejak seseorang dilahirkan hingga meninggal dunia dan tidak terbatas oleh waktu seperti pendidikan formal. Proses belajar seumur hidup tidak hanya dilakukan seorang yang terpelajar, tetapi semua lapisan masyarakat bisa melaksanakanya. Proses pendidikan ini mencakup bentuk-bentuk belajar secara informal, non formal maupun formal baik yang berlansung dalam keluarga, disekolah, dalam pekerjaan, dan dalam kehidupan masyarakat. Islam menekankan pentingnya pendidikan seumur hidup, Nabi bersabda :Tuntutlah ilmu dari buain sampai meninggal dunia.

Pemerintah juga menekankan betapa perlu dan pentingnya pendidikan seumur hidup itu, melalui kebijakan Negara ( Tap MPR No. IV / MPR / 1970 jo. Tap No. IV/ MPR / 1978 Tentang GBHN ) maka dimulailah konsep tentang pendidikan seumur hidup. Didalam UU Nomor 20 tahun 2003, penegasan tentang pendidikan seumur hidup, dikemukakan dalam pasal 13 ayat (1). Dengan pendidikan seumur hidup manusia di tuntut untuk membantu individunya agar dapat mengikuti perubahan-perubahan sosial sepanjang hidupnya, yang terpenting adalah manusia dapat bertahan dari segi apapun di era globalisasi ini.

Karena didasarkan betapa pentingnya pendidikan seumur hidup itu, maka memiliki beberapa urgensi antara lain: Aspek ideologis, setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, meningkatkan pengetahuan dan menambah keterampilannya. pendidikan seumur hidup akan membuka jalan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi diri sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Aspek ekonomis, pendidikan seumur hidup akan memberi peluang bagi seseorang untuk meningkatkan produktivitas, memelihara dan mengembangkan sumber-sumber yang dimilikinya, hidup di lingkungan yang menyenangkan-sehat, dan memiliki motivasi dalam mendidik anak-anak secara tepat sehingga pendidikan keluarga menjadi penting. Aspek sosiologis, di negara berkembang banyak orangtua yang kurang menyadari pentingnya pendidikan sekolah bagi anak-anaknya. Pendidikan seumur hidup bagi orang tua merupakan problem solving terhadap fenomena tersebut. Aspek politis, pendidikan kewarganegaraan perlu diberikan kepada seluruh rakyat untuk memahami fungsi pemerintah, DPR, MPR, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tugas pendidikan seumur hidup menjadikan seluruh rakyat menyadari pentingnya hak-hak pada negara demokrasi. Aspek teknologis,pendidikan seumur hidup sebagai alternatif bagi para sarjana, teknisi dan pemimpin di Negara berkembang untuk memperbaharui pengetahuan dan keterampilan seperti dilakukan negara-negara maju. Aspek psikologis dan pedagogis, sejalan dengan makin luas, dalam dan kompleknya ilmu pengetahuan, tidak mungkin lagi dapat diajarkan seluruhnya di sekolah. Tugas pendidikan sekolah hanya mengajarkan kepada peserta didik tentang metode belajar, menanamkan motivasi yang kuat untuk terus-menerus belajar sepanjang hidup, memberikan keterampilan secara cepat dan mengembangkan daya adaptasi.

2.    Belajar Seumur Hidup

Belajar seumur hidup sering menjadi semboyan. Namun sungguh sayang jika ini hanya menjadi semboyan saja.  Karena belajar seumur hidup bisa menjadi filsafat hidup yang sangat ampuh. Belajar seumur hidup bukan berarti kita harus terus sekolah sepanjang hidup kita. Belajar banyak diartikan oleh masyarakat sebagai tugas belajar yang terperangkap dalam sebuah “ruang” yang bernama kelas, setiap harinya hanya duduk mendengarkan Guru/Dosen dan diakhir materi mendapatkan ujian, bukan itu yang dimaksud. Paradigma belajar seperti ini harus segera kita rubah. Pengertian belajar bukan hanya berada dalam ruangan tapi belajar disemua tempat, semua situasi dan semua hal. Belajar berarti berlatih diri kita sehingga kita memiliki sesuatu kemampuan yang baru atau kemampuan yang semakin tinggi.  Ini bisa belajar ilmu pengetahuan, keterampilan fisik, dan belajar bersikap. Kalau kita mau, kita bisa memandang segala hal yang kita alami sehari-hari sebagai kesempatan belajar.  Ini menjadi semacam filsafat hidup. Hidup seperti sekolah raksasa. Mata pelajaran: bebas. Kurikulum: kehidupan yang produktif, indah dan bermakna. Kepala sekolahnya: Tuhan sendiri. Setiap hari kita menyempurnakan rutinitas kita, tindakan kita, trik-trik kita.  Kita sempurnakan hubungan kita dengan orang yang kita sayang.Hidup seperti sekolah raksasa. Mata pelajaran: bebas. Kurikulum: kehidupan yang produktif, indah, dan bermakna.  Kepala sekolahnya: Tuhan sendiri.

Tujuan belajar seumur hidup:
1. Mengembangkan potensi kepribadian manusia sesuai dengan kodrat dan hakikatnya, yakni seluruh aspek pembaurannya seoptimal mungkin.
2. Dengan mengingat proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian manusia bersifat hidup dinamis, maka pendidikan wajar berlangsung seumur hidup.
Belajar baru berhasil bila kita mampu membuat Habits kebiasaan baru. Hal yang kita lakukan sehari-hari yang meningkatkan kualitas hidup kita. Tentunya akan sia–sia belajar tinggi-tinggi, susah-susah, kalau tidak ada perubahan dalam tingkah laku kita, akal budi kita, kepribadian kita, sifat-sifat kita, dan kebiasaan kita sehari-hari. Dan hal yang paling harus kita perhatikan adalah perubahan Habits ini. Karena ia adalah identitas diri yang sebenarnya. Kita boleh bilang apa saja, mengklaim apa saja tentang diri kita.  Tapi kita yang sebenarnya, the real me, adalah kebiasaan atau habits kita itu.  Itu hal yang kita lakukan, sadar atau tidak.
Belajar berarti memfungsikan hidup, orang yang tidak belajar berarti telah kehilangan hidupnya, paling tidak telah kehilangan hidupnya sebagai manusia. Karena hidup manusia itu bukan hanya individu dalam dirinya saja tapi juga interaksi dengan sesamanya, dengan antar generasi dan kehidupan secara universal. Dalam belajar terdapat interaksi antara tantangan (challenge) dari alam luar diri manusia dan balasan (response) dari daya dalam diri manusia. Dalam belajar juga terjadi interaksi komunikasi antara manusia dan berlangsungnya kesinambungan antar generasi serta belajar melestarikan hidup, mengamankan hidup dan menghindari pengrusakan hidup. Belajar berarti menghargai hidup kita.

Belajar merupakan tugas semua manusia, tua-muda, besar-kecil, kaya-miskin semua mempunyai tugas tersebut. Kita belajar mengetahui apapun yang ada di dunia ini untuk kemajuan individu atau universal. Belajar memberi, belajar menerima, belajar bersabar, belajar menghargai, belajar menghormati dan belajar semua hal.

Sumber: http://soktauloe.blogspot.com/2013/06/pendidikan-seumur-hidup-dan-belajar.html

Kamis, 20 September 2018

Pendidikan Masih Jadi Masalah Utama di Papua


Pendidikan Masih Jadi Masalah Utama di Papua
Hasil gambar untuk pendidikan di Papua
Ilustrasi Pendidikan di Papua. ( Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Irawati D Astuti / DAS Selasa, 18 Oktober 2016 | 13:57 WIB
Jayapura - Selama lebih dari satu dekade, Indonesia telah mencoba memperbaiki sistem pendidikannya dengan mengalokasikan 20% dari APBN untuk bidang pendidikan. Terdapat 62 juta siswa dan 3,5 juta guru dan dosen. Sayangnya, angka fantastis itu gagal menjamin distribusi dan kualitas yang merata di seluruh nusantara.
Sistem pendidikan di Indonesia bagian Barat secara umum lebih baik dari Indonesia bagian Timur, seperti Papua. Di Indonesia Timur, masih banyak anak-anak yang tidak memiliki akses ke sekolah yang baik.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun ajaran 2013/2014, terdapat 117.529 siswa sekolah dasar (SD) dan 39.529 siswa sekolah menengah atas (SMA) di provinsi Papua Barat. Sementara di provinsi Papua, terdapat 336.644 siswa SD dan 94.897 siswa SMA. Sepintas, angka itu tampak menjanjikan. Sayangnya, fakta yang ada di lapangan jauh dari sekadar angka.
Kondisi ekonomi, budaya dan aksesibilitas geografis menjadi batasan bagi banyak anak-anak di wilayah timur Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dasar sekalipun. Masih banyak masyarakat yang belum peduli dengan pentingnya pendidikan untuk anak-anak. Atau, banyak yang mengalami kesulitan ekonomi sehingga tak mampu menyekolahkan anak-anak mereka.
Data BPS menyebutkan, Papua Barat dan Papua memiliki nilai paling rendah di antara seluruh provinsi di Indonesia, dalam laporan Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) 2010-2015. Papua Barat memiliki nilai 61,73, sedangkan Papua memiliki nilai 57,25. Sementara nilai rata-rata HDI di Indonesia adalah 69,55.
HDI mengukur pencapaian rata-rata warga di suatu negara dalam hal pembangunan manusia. Variabel yang diukur di antaranya adalah kesehatan, harapan hidup, pendidikan dan standar hidup.
Selain nilai HDI yang rendah, angka inflasi di Papua Barat dan Papua cukup tinggi. Banyak anak-anak yang terpaksa putus sekolah karena mereka harus bekerja demi menunjang ekonomi keluarga.
“Rakyat Papua yang tinggal di kota-kota besar tidak akan mempertanyakan pentingnya pendidikan dan menyekolahkan anak-anak mereka. Hal yang berbeda terjadi di wilayah pedesaan dan pedalaman. Di sana, mereka tak bisa sekolah karena mereka harus bekerja membantu orangtuanya,” jelas Kepala SDN Abeale I, Sudarwati.
Pandangan konservatif yang melihat pendidikan adalah hal yang tidak penting dan keengganan untuk bekerja menyebabkan banyak rakyat Papua yang meninggalkan kawasan urban.
“Banyak orang Papua yang malas bekerja. Mereka terlalu nyaman hidup dari mendayagunakan sumber daya alam di sekitar. Orang-orang lokal kerap mabuk-mabukan dan tidak peduli pada pendidikan. Inilah kenapa mereka sering kalah saat berkompetisi dengan orang dari luar Papua dan memutuskan kembali ke pedalaman,” tutur Edi, mantan guru di sebuah sekolah Katolik di Surabaya, Jawa Timur, yang tinggal di Sentani selama 11 tahun belakangan.
Data dari United Nations Children's Fund (Unicef) menunjukkan bahwa 30% siswa Papua tidak menyelesaikan SD dan SMP mereka. Di pedalaman, sekitar 50% siswa SD dan 73% siswa SMP memilih untuk putus sekolah.
Kondisi geografis merupakan salah satu faktor yang menyulitkan warga Papua untuk mendapatkan pendidikan.
Sekolah-sekolah di kota-kota besar di Papua mungkin tak memiliki kesulitan yang sama dengan yang dialami sekolah-sekolah di pedalaman. Namun masih ada persoalan lain yang menghalangi perkembangannya.
Bahkan di SD Abeale I yang bebas biaya, banyak siswa yang tidak mendapatkan pendidikan layak. Sudarwati mengatakan, sekolah yang dipimpinnya butuh lebih banyak guru yang berkualitas, terutama untuk kelas komputer dan Bahasa Inggris.
“Kami telah memperbaiki kapasitas dan kualitas guru-guru di Papua,” ujar Sudarwati, yang telah mengajar di Papua sejak 1990.
Tak hanya kualitas guru yang mengkhawatirkan, tapi juga kondisi infrastrukturnya. Gedung sekolah yang dibangun di era 70-an butuh direnovasi. Selain itu, diperlukan tambahan dua kelas lagi untuk mengakomodasi siswa-siswanya.
Meski begitu, Sudarwati tidak menyerah. Mengajar dan belajar merupakan kontribusi paling penting yang ia berikan kepada masyarakat.
Meski begitu, secercah harapan kerap muncul di tengah situasi yang sulit. Di daerah pegunungan Mamit, di Tolikara, SD Lentera Harapan masih berdiri untuk menyediakan pendidikan berkualitas dan gratis untuk warga lokal.
Dipimpin oleh Laura Elisabeth Panggabean, sekolah itu bertujuan untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang merata untuk seluruh anak-anak di kawasan pedesaan yang miskin.
Awalnya, masalah yang dihadapi Laura dan relawan guru lainnya di Mamit bukanlah standar hidup yang rendah atau betapa terpencilnya desa itu. Kendala utama mereka adalah bahasa.
“Saat para siswa datang untuk pertama kali, mereka belum bisa berbicara dalam bahasa Indonesia. Sebab, rata-rata mereka hanya berbicara dalam bahasa lokal mereka, bahasa Lani,” tutur Laura.
Dengan bantuan dari misionaris dan relawan dari Mission Aviation Fellowship (MAF), para siswa tersebut mulai mendapatkan pendidikan formal dan informal. Sekolah Lentera Harapan secara perlahan mengajari warga Mamit soal pendidikan, dan juga kebersihan. Mulai dari penggunaan toilet hingga mencuci tangan sebelum makan.
Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta seperti ini dibutuhkan untuk membangun akses pendidikan di kawasan pedalaman seperti Mamit. Rakyat Papua yang berhasil mendapatkan pendidikan layak harus kembali ke kampung halamannya dan berbagi pengetahuan mereka. Salah satunya adalah Yustus Samber, yang menjadi relawan guru di sekolah Lentera Harapan.
Yustus mengatakan, sebagai orang Papua, ia memiliki akses lebih baik kepada komunitas lokal. Ia percaya pendidikan adalah cara untuk mengubah masa depan Mamit secara khusus, juga Papua secara umum.
“Jika bukan kita, siapa lagi? Saya hanya berharap anak-anak ini akan membawa perubahan untuk Mamit,” tuturnya.

Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/393388-pendidikan-masih-jadi-masalah-utama-di-papua.html

Kamis, 13 September 2018

Fungsi Media Pembelajaran




FUNGSI MEDIA PEMBELAJARAN
Hasil gambar untuk manfaat media

Istilah media mula-mula dikenal dengan alat peraga, kemudian dikenal dengan istilah audio visual aids (alat bantu pandang/dengar). Selanjutnya disebut instructional materials (materi pembelajaran), dan kini istilah yang lazim digunakan dalam dunia pendidikan nasional adalah instructional media (media pendidikan atau media pembelajaran). Dalam perkembangannya, sekarang muncul istilah e-Learning. Huruf “e” merupakan singkatan dari “elektronik”. Artinya media pembelajaran berupa alat elektronik, meliputi CD Multimedia Interaktif sebagai bahan ajar offline dan Web sebagai bahan ajar online.[2]
Levie & Lents (1982) mengemukakan empat fungsi media pembelajaran, khususnya media visual, yaitu:
1.    Fungsi atensi,
2.    Fungsi afektif,
3.    Fungsi kognitif,
4.    Fungsi kompensatoris.
1.    Fungsi Atensi
Fungsi atensi media visual merupakan inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Seringkali pada awal pelajaran siswa tidak tertarik dengan materi pelajaran atau mata pelajaran itu merupakan salah satu pelajaran yang tidak disenangi oleh mereka sehingga mereka tidak memperhatikan. Media gambar khususnya gambar yang diproyeksikan melalui overhead projector dapat menenangkan dan mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Dengan demikian, kemungkinan untuk memperoleh dan mengingat isi pelajaran semakin besar.
1.    Fungsi Afektif
Media visual dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat menggugah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi yang menyangkut masalah social atau ras.
1.    Fungsi Kognitif
Fungsi kognitif media visual terlihat dari temuan-temuan penelitian yang mengungkapkan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaiaan tujuan untuk memahami dan mengingat informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.
1.    Fungsi Kompensatoris
Fungsi kompensatoris media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media visual yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca untuk mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pembelajaran berfungsi untuk mengakomodasikan siswa yang lemah dan lambat menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal.[3]
Media pembelajaran, menurut Kemp & Dayton (1985:28), dapat memenuhi tiga fungsi utama apabila media itu digunakan untuk perorangan, kelompok, atau kelompok pendengar yang besar jumlahnya, yaitu :
1.    Memotivasi minat atau tindakan,
2.    Menyajikan informasi,
3.    Memberi instruksi.
Untuk memenuhi fungsi motivasi, media pembelajaran dapat direalisasikan dengan teknik drama atau hiburan. Hasil yang diharapkan adalah melahirkan minat dan merangsang para siswa atau pendengar untuk bertindak (turut memikul tanggung jawab, melayani secara sukarela, atau memberikan subangan material). Pencapaian tujuan ini akan memperngaruhi sikap, nilai, dan emosi.
Untuk tujuan informasi, media pembelajaran dapat digunakan dalam rangka penyajian informasi dihadapan sekelompok siswa. Isi dan bentuk penyajian bersifat amat umum, berfungsi sebagai pengantar, ringkasan laporan, atau pengetahuan latar belakang. Penyajian dapat pula berbentuk hiburan, drama, atau teknik motivasi. Ketika mendengar atau menonton bahan informasi, para siswa bersifat pasif. Partisipasi yang diharapkan dari siswa hanya terbatas pada persetujuan atau ketidaksetujuan mereka secara mental, atau terbatas pada perasaan tidak/kurang senang, netral, atau senang.
Media berfungsi untuk tujuan instruksi di mana informasi yang terdapat dalam media itu harus melibatkan siswa baik dalam benak atau mental maupun dalam bentuk aktivitas yang nyata sehingga pembelajaran dapat terjadi. Materi harus dirancang secara lebih sistematis dan psikologis dilihat dari segi prinsip-prinsip belajar agar dapat menyiapkan instruksi yang efektif. Di samping menyenangkan, media pembelajaran harus dapat memberikan pengalaman yang menyenangkan dan memenuhi kebutuhan perorang siswa.
Sumber:https://herminegari.wordpress.com/perkuliahan/fungsi-dan-manfaat-media-pembelajaran/

Kamis, 06 September 2018

Kecerdasan Emosional Dalam Belajar


[7/18/2009 03:27:00 AM | 19 comments ]
Di tengah semakin ketatnya persaingan di dunia pendidikan dewasa ini, merupakan hal yang wajar apabila para siswa sering khawatir akan mengalami kegagalan atau ketidak berhasilan dalam meraih prestasi belajar atau bahkan takut tinggal kelas.
Banyak usaha yang dilakukan oleh para siswa untuk meraih prestasi belajar agar menjadi yang terbaik seperti membentuk kelompok belajar atau mengikuti bimbingan belajar. Usaha semacam itu jelas positif, namun masih ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam mencapai keberhasilan selain kecerdasan ataupun kecakapan intelektual, faktor tersebut adalah kecerdasan emosional. Karena kecerdasan intelektual saja tidak memberikan persiapan bagi individu untuk menghadapi gejolak, kesempatan ataupun kesulitan-kesulitan dan kehidupan. Dengan kecerdasan emosional, individu mampu mengetahui dan menanggapi perasaan mereka sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan-perasaan orang lain dengan efektif. Individu dengan keterampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidupan dan memiliki motivasi untuk berprestasi. Sedangkan individu yang tidak dapat menahan kendali atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merusak kemampuannya untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugasnya dan memiliki pikiran yang jernih.
Sebuah laporan dari National Center for Clinical Infant Programs (1992) menyatakan bahwa keberhasilan di sekolah bukan diramalkan oleh kumpulan fakta seorang siswa atau kemampuan dirinya untuk membaca, melainkan oleh ukuran-ukuran emosional dan sosial: yakni pada diri sendiri dan mempunyai minat; tahu pola perilaku yang diharapkan orang lain dan bagaimana mengendalikan dorongan hati untuk berbuat nakal; mampu menunggu, mengikuti petunjuk dan mengacu pada guru untuk mencari bantuan; serta mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan saat bergaul dengan siswa lain. Hampir semua siswa yang prestasi sekolahnya buruk, menurut laporan tersebut, tidak memiliki satu atau lebih unsur-unsur kecerdasan emosional ini (tanpa memperdulikan apakah mereka juga mempunyai kesulitan-kesulitan kognitif seperti kertidakmampuan belajar). (Goleman, 2002: 273)
Penelitian Walter Mischel (1960) mengenai “marsmallow challenge” di Universitas Stanford menunjukkan anak yang ketika berumur empat tahun mampu menunda dorongan hatinya, setelah lulus sekolah menengah atas, secara akademis lebih kompeten, lebih mampu menyusun gagasan secara nalar, seta memiliki gairah belajar yang lebih tinggi. Mereka memiliki skor yang secara signifikan lebih tinggi pada tes SAT dibanding dengan anak yang tidak mampu menunda dorongan hatinya (Goleman, 2002: 81). 
Individu yang memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik (Gottman, 1998: xvii)
Keterampilan dasar emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan emosional, secara emosional akan lebih cerdas, penuh pengertian, mudah menerima perasaan-perasaan dan lebih banyak pengalaman dalam memecahkan permasalahannya sendiri, sehingga pada saat remaja akan lebih banyak sukses di sekolah dan dalam berhubungan dengan rekan-rekan sebaya serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta seks yang tidak aman (Gottman, 1998: 250)
Siswa bukanlah benda mati yang hanya bergerak bila ada daya dari luar yang mendorongnya, melainkan mahluk yang mempunyai daya-daya dalam dirinya untuk bergerak yaitu motivasi. Dengan adanya motivasi, manusia kemudian terdorong unutk melakukan suatu tindakan atau perilaku, yang termasuk di dalamnya adalah keinginan untuk berprestasi tinggi di dalam belajar. (Irwanto, 1997: 184)
Melihat uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kecerdasan emosional merupakan salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang baik di sekolah. Siswa dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan berhasil dalam pelajaran, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka.

Sumber: http://nadhirin.blogspot.com/2009/07/kecerdasan-emosional-dalam-belajar.html



Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi

Teddy Triyadi Nugroho Mahasiswa Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Kamis, 14 Mei 2020 09:08 WIB Pembelajaran jarak jauh yang ...